PANGKALPINANG - Dalam rangka mendukung pelaksanaan Kajian Cepat Penanggulangan Perkawinan Anak, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kepulauan Bangka Belitung menggelar kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM dengan tema “Mengurai Isu Perkawinan: Mendorong Kolaborasi Lokal dalam Menjawab Tantangan Global”. Kegiatan FGD tersebut dilaksanakan di Balai Pengayoman Kantor Wilayah, pada Senin (27/06) pukul 14.00 WIB.
Kegiatan FGD tersebut dihadiri oleh Kepala Balitbang Hukum dan HAM (Sri Puguh Budi Utami) beserta jajaran, Kepala Kantor Wilayah (T. Daniel L. Tobing), Kepala Divisi Administrasi (Itun Wardatul Hamro), Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM (Eva Gantini) beserta jajaran, dan perwakilan dari berbagai Instansi seperti Pengadilan Agama, Kementerian Agama, BAPPEDA, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Dinas Pendidikan, Dinas Kependudukan Pencatatan Sipil dan Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana, UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak, serta Ketua dari Aktivis Perlindungan Anak di wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Membuka kegiatan, Kepala Kantor Wilayah mengucapkan selamat datang kepada Kepala Balitbang Hukum dan HAM beserta jajaran, dan seluruh tamu undangan karena telah hadir dan berpartisipasi pada kegiatan FGD ini.
“Adapun kegiatan FGD hari ini merupakan tindak lanjut surat dari Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia yang mengamanatkan dilakukannya kerja sama melalui Balitbang Hukum dan HAM. Tentunya diharapkan kegiatan FGD ini dapat menjadi media sharing, pengumpulan data, sekaligus silaturahmi antar instansi untuk mendukung pengendalian pernikahan anak di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan diharapkan juga adanya diskusi dan masukan dari narasumber agar Kemenkumham khususnya Balitbang Hukum dan HAM bisa mendapatkan informasi lebih dalam mengenai topik Pernikahan Anak ini”, ujar Kakanwil.
Melanjutkan kegiatan, Sri Puguh Budi Utami menyampaikan arahan untuk para peserta FGD, Ia mengatakan bahwasanya perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun.
“Hal ini mengingat bahwa perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak, seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak,” ujar Sri Puguh.
Berdasarkan data BPS, sebanyak 21 (dua puluh satu) provinsi memiliki angka perkawinan anak di atas angka nasional, dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menduduki peringkat pertama dengan jumlah terbanyak angka perkawinan anak di bawah 19 tahun.
Jajaran Balitbang Hukum dan HAM turut menguraikan Isu Perkawinan Anak. Dengan isu perkawinan anak ini, kita semua menerima berbagai reaksi yatu:
- Adanya tensi dari berbagai kelompok tentang batas usia minimum perkawinan;
- Membuka adanya ruang diskresi pemberian dispensasi nikah bagi anak-anak usia di bawah umur; dan
- Ada beragam praktik yang dilakukan pengambilan kebijakan tingkat lokal, tentang bagaimana mereka menerima atau meloloskan pernikahan di bawah usia.
Oleh karena itu, dalam riset ini Balitbang Hukum dan HAM ingin mempelajari bagaimana konteks struktur, kultur, dan proses sosial yang ada. Jika sudah mengetahui berbagai hal tersebut, harapannya dapat diketahui langkah apa yang harus dilakukan untuk merespon isu perkawinan anak.
Para narasumber turut memberikan pendapatnya mengenai perkawinan anak ini, masing-masing instansi sudah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi kasus perkawinan anak dengan melakukan sosialisasi, seminar, serta pengarahan dan penyuluhan bagi remaja usia sekolah. Walau sudah dilakukan berbagai upaya tersebut, tetapi tetap saja masih terdapat halangan dalam pelaksanaan di lapangan, untuk itu para narasumber mengharapkan adanya metode baru untuk pemberian pendidikan dan informasi mengenai perkawinan anak ini bagi para remaja dan orang tua di wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Pelaksanaan FGD ini diharapkan dapat memberikan wawasan tentang fenomena perkawinan anak, tantangannya, serta bagaimana penanggulangan fenomena ini melalui perspektif-perspektif yang berbeda dari tiap pemangku kepentingan dan memetakan strategi intervensi yang bisa diambil oleh stakeholder masing-masing.
(HUMAS KANWIL KEMENKUMHAM BABEL)